Karangan Bunga Duka Cita untuk DPR: Ketika Belasungkawa Jadi Kritik Paling Tajam

Karangan duka cita untuk DPR
Dok.Pribadi


Depok, RuangNarasi — Hari itu, langit Jakarta diselimuti mendung tipis. Kamis sore yang biasanya disesaki lalu lintas pejabat, berubah menjadi panggung suara rakyat. Di pelataran Gedung DPR RI, sebuah pemandangan tak biasa menjadi pusat perhatian: barisan karangan bunga berdiri tegak di depan gerbang utama.

Namun ini bukan perayaan. Di atas karangan bunga, tertulis kalimat yang mengejutkan: "Turut Berduka Cita Atas Meninggalnya Dewan Perwakilan Rakyat."

Bunga-bunga segar itu tidak dikirim untuk seseorang yang wafat secara fisik, melainkan sebagai simbol matinya fungsi representasi. Sebuah sindiran tajam yang dibungkus dalam kelembutan estetika. Aksi damai bertajuk "Selamatkan Indonesia" ini bukan sekadar unjuk rasa, melainkan prosesi duka untuk demokrasi yang mereka anggap telah dikubur tanpa upacara.

Prosesi Damai, Pesan Menggetarkan

Tidak ada batu dilempar. Tidak ada pagar didobrak. Yang dilempar adalah pesan-pesan moral, dan yang didobrak adalah hati nurani publik.

Mahasiswa menaburkan bunga di depan pagar, duduk bersama dalam lingkaran doa, dan menyalakan lilin saat senja mulai turun. Beberapa di antaranya membawa miniatur peti mati dari kardus, bertuliskan “Demokrasi Kita.” Tak ada provokasi. Semuanya berlangsung tertib namun menggetarkan. Aksi yang berlangsung pada 4 September 2025 ini menunjukkan bahwa cara damai pun bisa menyampaikan pesan yang sangat kuat.

Keheningan di Balik Gerbang Megah

Sementara di luar, ribuan mahasiswa menyampaikan keresahan mereka dengan cara damai, gedung megah DPR RI tampak sepi. Tak ada perwakilan rakyat yang menyambut. Pintu tertutup rapat, seolah simbol bahwa antara rakyat dan wakilnya kini telah terbentang jurang.

Keheningan dari dalam gedung itu justru menjadi kontras paling menyakitkan dari seluruh aksi. Seolah karangan bunga yang dikirim rakyat hari itu benar adanya bahwa lembaga ini sudah tidak hidup dalam hati rakyat. Menjelang malam, mahasiswa mulai membubarkan diri. Karangan bunga masih berdiri, menjadi monumen bisu.

Meski hari itu ditutup dengan sunyi, bukan berarti harapan telah padam. Justru dalam diam itulah, suara-suara paling tulus terdengar tentang negeri yang ingin dipeluk kembali oleh keadilan, tentang demokrasi yang ingin dihidupkan kembali, bukan dikubur dengan bunga palsu. Dan di balik ucapan duka itu, tersimpan harapan bahwa suatu saat, wakil rakyat benar-benar akan hidup kembali.

Putri Az zahra Suherman

Ruang Narasi hadir sebagai platform blog yang menyajikan berbagai rubrik menarik mulai dari berita terkini yang akurat dan tajam, reportase mendalam yang membawa Anda langsung ke sumber peristiwa, opini kritis yang menggugah pemikiran, hingga feature kreatif yang menghadirkan kisah-kisah unik dan inspiratif.

Post a Comment

Previous Post Next Post