![]() |
Istock. |
Depok, 6 Oktober 2025 – Di tengah banjir informasi digital yang kian deras, etika jurnalistik di Indonesia berada di persimpangan krusial. Tahun ini, pengaduan masyarakat terhadap pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) mencapai rekor tertinggi, naik 12 persen dari tahun sebelumnya, menurut data Dewan Pers.
Fenomena ini bukan sekadar alarm, melainkan sinyal bahwa jurnalisme kita sedang diuji oleh dinamika teknologi, tekanan ekonomi, dan tuntutan publik akan transparansi. Sebagai reporter dengan pengalaman dua dekade meliput isu media, melihat ini sebagai momen transisi etika jurnalistik kini terancam erosi, tapi justru berpotensi berevolusi menjadi lebih kuat di masa depan.
Antara Kebebasan dan Sensasionalisme
Situasi saat ini mencerminkan kontradiksi tajam. Di satu sisi, Indonesia menempati peringkat 111 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers 2025 versi Reporters Without Borders (RSF), menunjukkan kemajuan dari tahun-tahun sebelumnya meski masih diwarnai sensor halus dan serangan digital.
Namun, di sisi lain, riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam “Potret Jurnalis Indonesia 2025” mengungkap bahwa 65 persen jurnalis menghadapi tekanan untuk memproduksi konten sensasional demi klik, yang sering kali mengorbankan verifikasi fakta.
Pengaduan Dewan Pers semester pertama 2025, yang mencapai puncak sepanjang sejarah, mayoritas terkait judul clickbait dan pelanggaran privasi, seperti kasus konten yang melanggar Pasal 1 dan 3 KEJ. Ini menandakan kesadaran publik yang meningkat, tapi juga tantangan kualitas jurnalistik yang menurun akibat dominasi media sosial.
Algoritma Menguji Nurani
Analisis mendalam menunjukkan bahwa era digital menjadi katalis utama, platform seperti
TikTok dan X (sebelumnya Twitter) mendorong konten pendek yang viral, di mana etika sering kalah oleh algoritma. Sebuah opini di Gerbang Nusantara News menyoroti bagaimana adaptasi
jurnalis terhadap media sosial menjadi kunci, tapi tanpa validasi yang ketat, berisiko mempercepat penyebaran hoaks.
Di Indonesia, di mana 70 persen populasi aktif di media sosial, tren ini diperburuk oleh munculnya “content creator” yang mengaburkan batas antara jurnalisme profesional dan hiburan.
Wakil Gubernur Jawa Tengah, misalnya, baru-baru ini menekankan perlunya influencer mematuhi etika serupa media mainstream untuk menjaga akurasi informasi.
Tantangan ini tak hanya domestik secara global, etika jurnalistik diuji oleh deepfake dan AI-generated content, yang diprediksi akan mendominasi 40 persen berita palsu di Asia Tenggara pada 2026.
Menuju Etika Hibrida di Era AI
Menyongsong masa depan, prediksi trand terkini, Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, etika jurnalistik Indonesia diproyeksikan bergeser ke arah “etika hibrida” integrasi AI sebagai alat bantu verifikasi, bukan pengganti manusia. Laporan Netral News memprediksi sinergi AI dan etika akan menjadi norma, di mana algoritma digunakan untuk mendeteksi bias, sementara jurnalis fokus pada narasi mendalam.
Ini selaras dengan visi Dewan Pers, yang sedang menyusun pedoman etika AI untuk media, termasuk transparansi sumber dan audit konten otomatis.
Menjaga Nurani Pers
Seperti ditegaskan Menkominfo Meutya Hafid, kredibilitas adalah kunci ruang digital sehat.
Jika kita gagal, jurnalisme bisa jadi alat manipulasi jika berhasil, ia akan menjadi pilar demokrasi yang lebih tangguh. Masa depan bukan ditentukan oleh teknologi, tapi oleh pilihan etis kita hari ini.
Sangat menginspirasi dan informatif🤩
ReplyDelete