Depok, RuangNarasi - Film SORE: Istri dari Masa Depan arahan Yandy Laurens resmi tayang di bioskop Indonesia sejak Juli 2025. Film ini segera menyedot perhatian, baik dari penonton umum maupun kritikus, berkat kisah unik dan kualitas produksinya yang melampaui standar drama romantis lokal. Tidak hanya sukses secara komersial dengan jutaan penonton, SORE bahkan ditunjuk sebagai wakil Indonesia untuk kategori Best International Feature Film di Oscar 2026.
Antara Fantasi dan Realitas
Premis SORE sederhana, namun segar: Jonathan (Dion Wiyoko), seorang fotografer, didatangi Sore (Sheila Dara Aisha) yang mengaku sebagai istrinya dari masa depan. Kehadiran Sore bukan sekadar fiksi fantasi, melainkan sebuah intervensi untuk mengingatkan Jonathan agar memperbaiki gaya hidupnya. Dari sinilah film bergerak menyeimbangkan romansa, drama personal, dan refleksi filosofis tentang waktu serta pilihan hidup.
Di titik ini, Yandy Laurens menegaskan dirinya sebagai sineas yang konsisten mengedepankan cerita. Ia tidak sekadar menampilkan perjalanan cinta, tetapi juga memasukkan dimensi moral yang dekat dengan penonton: bagaimana manusia kerap menunda perubahan hingga terlambat.
Pencapaian Teknis dan Artistik
Secara teknis, SORE tampil meyakinkan. Sinematografi yang memanfaatkan lanskap Kroasia dan Finlandia menghadirkan kesan global yang jarang terlihat pada film drama Indonesia. Musik latar bekerja efektif memperkuat suasana, sementara akting Dion Wiyoko dan Sheila Dara menghadirkan chemistry yang autentik.
Namun, film ini juga memiliki catatan kritis. Adaptasi dari web series sebelumnya membuat sebagian adegan terasa repetitif. Selain itu, penggunaan elemen fantasi “istri dari masa depan” berpotensi dipandang klise, terutama bagi penonton internasional yang terbiasa dengan genre serupa.
Makna Bagi Industri Film Indonesia
Di luar kualitas artistik, SORE penting dicatat sebagai fenomena industri. Keberhasilannya menembus angka jutaan penonton domestik membuktikan bahwa pasar Indonesia siap menerima tontonan dengan cerita yang lebih matang. Lebih dari itu, penunjukan SORE ke Oscar adalah langkah simbolis: sinema Indonesia kini berani menantang panggung dunia, bukan hanya puas dengan pasar lokal.
Apakah SORE mampu bersaing di Oscar? Itu pertanyaan besar. Persaingan di kategori film internasional sangat ketat, dan faktor promosi, distribusi, hingga penerjemahan budaya akan berperan penting. Namun, terlepas dari hasil akhir, nominasi ini sudah menjadi kemenangan tersendiri—bahwa sebuah film romantis dengan sentuhan fantasi dari Indonesia bisa mendapat perhatian di kancah global.
Penutup
SO RE: Istri dari Masa Depan adalah film yang melampaui identitasnya sebagai drama romantis. Ia menjadi simbol ambisi baru perfilman Indonesia: berani bercerita dengan gaya universal, namun tetap berakar pada nilai dan kegelisahan yang dekat dengan penonton lokal. Dalam konteks jurnalistik, film ini dapat dibaca bukan hanya sebagai produk budaya, melainkan juga sebagai penanda arah baru industri film nasional yang semakin percaya diri.